Awawa... please help us with subscribing here or you can make it easier with our updates sent directly to your inbox:





Mengapa Kiblat Otaku adalah Jepang, Anime, dan Manga?

Konata is An Otaku
Mengapa "kiblat" otaku (dan otakuisme itu sendiri) adalah negara Jepang, Anime, dan Manga? Sudah banyak yang berusaha menjawab pertanyaan ini, namun entah mengapa, masih dirasa kurang memuaskan. Dan lucunya, saya justru menjanjikan untuk membahas jawaban dari pertanyaan sukar-sukar-mudah ini pada posting mengenai J-Topia Project ini. Dan saya akan berusaha untuk membuatnya cukup mudah untuk dimengerti, singkat, dan tidak berbelit-belit.


Mengapa Jepang?
Alasan utama bahwa para otaku berkiblat pada negara Jepang dan kebudayaannya tentu saja karena istilah atau term "otaku" itu sendiri berasal dari negara Jepang. No brainer for that. Mengenai bagaimana asal-usul kata otaku dan sebagainya, tidak perlu saya jelaskan di sini, cukup Anda baca saja di Wikipedia. Mereka sudah mengerjakan tugas penjelasan ini dengan sangat baik. Kalau Anda ingin tahu definisi otakuisme versi saya dan kaitannya dengan Strazar, silakan baca di posting yang ini.

Karena istilah "otaku" sendiri lahir di Jepang, maka tentu saja kebudayaan-kebudayaan dan gaya hidup para penduduk Jepang diturunkan di sini. Sehingga, tidak mengherankan bahwa para otaku berusaha mengadaptasi kebiasaan dan kebudayaan manusia Jepang dalam lifestyle mereka. Ini sama sederhananya dengan menjawab pertanyaan "Mengapa para pastor berkiblat ke tatacara dari Vatikan?"

Nah, jika pertanyaannya "mengapa kebudayaan Jepang yang dipilih untuk diterapkan dan dipilih?" maka kasusnya akan berbeda lagi. Banyak jawaban untuk pertanyaan satu ini yang sudah dan sering kita dengar: "Karena kedisiplinan mereka", "Karena imajinasi mereka yang tinggi", dan sebagainya. Dan karena sebagian besar dari semua jawaban mengenai keunggulan Jepang ini benar, maka saya rasa saya tidak perlu menambahkan lebih selain, bahwa orang seringkali lupa, bahwa

-Jepang termasuk negara tertua di dunia
Pernyataan ini memang masih banyak diperdebatkan, namun banyak bukti historis yang mendukung hal ini, terutama yang berasal dari manuskrip dan catatan kuno dari China dan Korea bahwa Jepang setidaknya telah memiliki sebuah "state" sendiri bernama Wa (menurut naskah Sangokushi atau Sam Kok atau 3 Negara) serta telah memiliki sistem pemerintahan yang teratur pada 270 M. Pada saat itu, raja atau kaisar yang memimpin bernama Ojin dan konon merupakan awal sistem pemerintahan resmi negara Jepang (yang masih bernama Yamato) pada era itu.

Lalu, apa pengaruhnya? Well, memang tidak terlalu signifikan, namun kita boleh menganggap bahwa dengan usia yang setua itu, Jepang sudah banyak mengalami peristiwa, pergolakan, dan hebatnya - orang Jepang adalah manusia-manusia yang sangat senang belajar. Bagaimana cara mereka mengatasi segala peristiwa itu dan membuat negaranya menjadi semaju sekarang perlu dicontoh oleh negara-negara lain yang lebih muda. Meski tidak terlalu besar pengaruhnya, namun usia sebuah negara seringkali menunjukkan pula kedewasaan sebuah negara, dan Jepang patut mendapat credit untuk itu.

-Manusia Jepang memanfaatkan 200% apa yang mereka punya, mengetahui kelemahan mereka, dan mengatasinya

Jika dibandingkan dengan negara Indonesia yang memiliki 1919440 km², maka luas Jepang yang bahkan tidak sampai seperempatnya, yakni 377835 km², bisa disebut sebagai negara kerdil.

Namun, betulkah itu?

Pada tahun 2007, Pendapatan Per Kapita(PPK) Jepang diperkirakan mencapai $37.940, hampir 21 kali PPK Indonesia yang hanya $1812. Kemampuan Berbelanja Jepang pada tahun 2007 sebesar $4.405 triliun, menduduki urutan ketiga di dunia, bandingkan dengan Indonesia yang hanya $1.038 miliar.

Dan lucunya, Jepang ternyata memiliki sistem pertanian yang berkali-kali lipat menghasilkan lebih banyak dan lebih modern dari Indonesia. Mengapa saya bilang lucu? Kita sama-sama tahu bahwa wilayah Jepang sesungguhnya tidak terlalu baik untuk bertani, apalagi dengan hancurnya 2 kota besar mereka, Hiroshima dan Nagasaki akibat radiasi dari bom nuklir. Hal ini masih diperparah lagi dengan kondisi iklim mereka yang termasuk negara 4 musim, di mana para petani harus lebih siap siaga daripada mereka yang tinggal di negara 2 musim seperti Indonesia. Dan tidak boleh dilupakan bahwa negara mereka terletak di hampir di tengah samudra bebas dan lempeng sabuk gunung berapi di mana potensi gempa bumi, angin topan, dan tsunami sedari dulu kala selalu mengancam para penduduknya.

Namun, nampaknya, semangat "kepepetisme" terimpelementasikan lebih manjur di Jepang daripada asal-usulnya, yakni Indonesia. Mungkin berkat "cambuk" dari alam tersebut, justru Jepang, dengan resiko "do or die", mau tidak mau harus melakukan sesuatu jika tidak ingin bangsanya punah. Mereka belajar... dan berhasil! Demi mengatasi sempitnya lahan bertani, mereka memilih untuk mengembangkan teknologi pertanian dan juga mengimpor bahan mentah pertanian untuk mereka olah kembali menjadi produk yang lebih baik. Demi mengatasi bahaya gempa dan tsunami, mereka membangun rumah anti gempa berbahan dasar kertas dan kayu tipis kemudian memasang alat peringatan tsunami tercanggih di dunia. Bahkan, latihan menghadapi gempa sudah menjadi kewajiban rutin bagi siswa seolahnya. Tidak mau menjadi keledai, Jepang jelas belajar dari banyak kelemahan serta kesalahannya, dan menjadi negara yang makin baik tiap harinya.

Bandingkan dengan Indonesia yang terlalu lama berleha-leha dalam "kolam susu" kita. Melihat keadaan sekarang, lagu dari band legendaris tersebut tampaknya malah menjadi kutukan kemalasan bagi kita untuk bertindak. Atau mungkin, kita sudah banyak bertindak, namun caranya yang selalu salah...itu percuma! Itu sama saja dengan slogan dan pameo "Cerdaskan bangsa" namun yang diputar di televisi kita selalu adalah sinetron atau reality show yang lebih picisan daripada keju yang diendapkan tiga hari.

Semangat bangsa Jepang untuk memanfaatkan apa yang ada dan memperbaiki diri tersebutlah yang patut kita tiru dan terapkan.

Mengapa Bukan Kebudayaan Indonesia? Mengapa Melulu Jepang, Jepang, dan Jepang?
Kata siapa? Hanya para otaku palsu (sejenis nabi palsu) dan para ceriwis ngawur yang memiliki pendapat seperti itu.

Jika pernah menonton "Avatar: The Legend of Aang" (yang juga sudah menjadi picisan di Indonesia dikarenakan jumlah repetisinya yang nyaris mendekati abadi), ucapan Jenderal Iroh, paman dari Zukko, sangat menarik untuk disimak:

Empat elemen. Empat negara. Untuk mengetahui dan memahami kekuatan elemen kita sendiri, maka perlulah kita mempelajari kebudayaan lain, elemen lain...Avatar adalah epitome (teladan) dari harmonisasi kekuatan ini. Kemampuan Avatar untuk menguasai keempat elemen ini secara harmonis membuatnya menjadi tak terkalahkan...


Proses belajar dan mengaplikasikan sesuatu bagi saya selalu menjadi contoh bagus dari Touka Koukan: absorption-destruction-creation. Pertama-tama, kita harus "menyerap" hal-hal positif dari kebudayaan lain, "menghancurkan" pengetahuan dasar kita mengenai kebudayaan kita sendiri, kemudian "menciptakan" sebuah budaya baru yang lebih baik dengan dasar-dasar nilai positif tadi.

Menjadi seorang Otaku atau Strazar yang sejati sesungguhnya tidak menjauhi kebudayaan negara sendiri atau malah melakukan Japanisasi (memakai pakaian dengan gaya Jepang, menyanyikan lagu Jepang di mana-mana, dan lain-lain). Otaku yang sejati adalah manusia yang bisa melihat kelemahan diri sendiri, kelemahan budaya sendiri, dan kelemahan paradigma sendiri, kemudian mengambil inspirasi dari kebudayaan lain (dalam hal ini, Jepang), mem-filter yang baik dari yang buruk, lalu menerapkan hal-hal baik ini untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tadi.

Oleh karena itu, sesungguhnya pemerintah kita tidak perlu mencegah atau mempersulit perjalanan seseorang ke luar negeri. Pengalaman seseorang berada di negara yang asing dengan bangsa yang asing dan kebudayaan yang sama sekali baru akan memperkuat pengetahuannya untuk memahami cara-cara mempromosikan kebudayaan sebuah bangsa dari negeri asing tersebut. Bekal pengetahuan ini akan sangat berguna untuk dibawa pulang dan memperkuat kebudayaan asli bangsa Indonesia.

Dan lucunya, kebanyakan orang yang mengatakan budaya asli Indonesia selalu berkutat di seputar pepatah-pepatah seperti mikul duwur mendem jero. Itu sih bukan memperkuat kebudayaan, namun primordialisme namanya.

Mengapa Anime dan Manga?
Anime (animasi Jepang) dan manga (komik Jepang) adalah karya-karya yang memiliki sifat dua dimensi. Kita, sebagai makhluk bukan-dua-dimensi namun tiga dimensi (ada yang menyebut empat dimensi, ditambah dimensi waktu), terikat dan dibatasi (constricted) dengan aturan-aturan dan kekangan dari alam tiga dimensi, seperti beberapa hukum fisika yang umum kita ketahui.

Nah, dalam dunia dua dimensi, kekangan-kekangan tersebut menjadi hilang. Efek-efek seaneh dan seunik apa pun mampu ditampilkan di sini. Anggap bahwa dunia 3 dimensi adalah sebuah balok kaku, maka dunia 2 dimensi sangat bundar, radial, dan dinamis. berbagai imajinasi, storyline, efek, makhluk, dan karakter yang tidak bisa kita terapkan di dunia 3D dapat diberlakukan dengan mudah di 2D. Dengan kata lain, dunia anime dan manga - yakni dunia 2D - adalah dunia mimpi.

Betulkah?

Seorang filsuf terkenal, sayang saya lupa namanya, pernah berkata bahwa "anything that can still thought within human's mind, is still can be created in the real world." Saya termasuk orang yang secara pribadi setuju dengan pernyataan itu. Alasannya, karena sesungguhnya segala kreasi atau penciptaan selalu terjadi dua kali: pertama adalah di pikiran (anggap sebagai blueprint-nya) dan kedua adalah implementasi di dunia aslinya.

Di sinilah letak keunggulan 2D dibanding 3D dalam hal transformasi diri menjadi seorang Strazar. Salah satu bab pelajaran utama dari menjadi Strazar adalah,

Kemampuan untuk mengamati sebuah kejadian atau obyek tanpa melakukan tindakan apa pun yang dapat mempengaruhi results (hasil) atau behaviours (tingkah laku) dari suatu kejadian atau obyek tersebut.


...dan hal ini agak sukar kita lakukan di dunia nyata. Misalnya, saat seorang wanita dijambret tasnya di depan kita. Sang penjambret lari, sementara kita kebetulan sedang berada di atas sepeda motor dan berada sangat dekat dengan tempat kejadian. Apa betul kita hanya melihat dan tidak melakukan apa-apa sama sekali? Meski kita tidak berani (ciut) untuk mengejar sang penjambret, minimal kita pasti membantu mengantarkan sang wanita ke kantor polisi untuk melapor, bukan?

Nah, dunia 2D menjadi tempat yang tepat untuk mengembangkan kemampuan "watching" yang satu ini. Kita bisa belajar banyak dari anime dan manga berkualitas bagus; kita dapat melihat adegan romansa, perkelahian, pembunuhan, sihir, dan keajaiban tanpa repot-repot ikut campur tangan di dalamnya. Kita dapat mengerti sisi "hitam", "putih" serta "abu-abu" tanpa harus melakukan percobaan langsung di dunia nyata. Anggap saja bahwa dunia 2D adalah sebuah template atau blueprint yang seringkali lebih membantu kita memetakan banyak hal mengenai manusia nyata lebih baik ketimbang dunia 3D. Dan kita bahkan sangat bisa untuk TIDAK memberikan simpati atau empati terhadap kejadian atau tokoh dalam anime-manga, mereka bahkan tidak memiliki nyawa asli. Dan inilah yang menjelaskan, mengapa otaku lebih senang "berkiblat" ke dunia anime/manga dari jepang, bukannya dunia nyata.

Meski demikian, interaksi dengan dunia 2D secara terus-menerus sama saja dengan mengekspos diri sendiri dengan radiasi nuklir tingkat tinggi, itu bisa membuat Anda keracunan dan berubah menjadi jamur kering. Oleh karena itu, tetap diperlukan untuk "bersentuhan" dengan dunia 3 dimensi. Jika Anda ingin tahu bagaimana caranya, silakan terus mengikuti blog ini, dan transformasikan diri Anda menjadi tidak hanya seorang Otaku, namun juga seorang Strazar. May The Strazar Force be with you...

4 comments:

YUILO said...

halo lagi, ini E
tulisan ini ternyata lebih panjang dari yang kukira.

yup tentu kita tahu semua subculture yang hebat dan aneh lahir di jepang, saya tadi cukup terkejut dengan kesenjangan soal PPK Jepang dan Indonesia.

tentang filterisasi, saya ingin menceritakan sesuatu. saya seorang yang punya cukup pengetahuan untuk bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

pornografi adalah salah satu yang salah. namun saya justru tertarik dengan pornografi ini. saya melihat adegan-adegan dan gambar-gambar, bahkan memainkan hal-hal yang berpredikat "H" (yeah meskipun sekarang hal-hal itu sudah jarang saya lakukan). Alasan saya adalah karena saya melihat keindahan dari materi-materi yang dianggap dosa itu.

merely a lowly excuse, huh? saya juga sempat beralasan aturan tentang pornografi ini berasal dari tahun dan tempat dimana kebudayaan waktu itu tidak dapat menerimanya. karena distorsi akibat perubahan jamanlah, semua ini ikut berubah. pornografi menjadi seni. peradaban berubah, pemahaman manusia juga berubah.

saya kadang takut alasan saya ini terlalu rapuh dan salah. kalau saja saya diutus Tuhan untuk menjadi Ministry of Earth, saya pasti akan menciptakan peraturan yang agak menyimpang dari jalurnya hari ini... heh ^^;

nah, bagaiman sebenarnya saya menyaring "H":
>>>yang baik:
- nudity is beautiful, IMHO there's really nothing wrong with nudity
- teknik gambar dan warnanya yang luar biasa
- dedikasi illustratornya/pembuatnya
- sex itu puncak hubungan yang indah, proses yang sangat intim, perwujudan cinta.
- lakukan sex saat kedua pihak setuju ^^ bukan salah satu pihak saja
- lakukan sex dengan manusia saja, jangan dengan tangan ^^ so, get a girl... ini mungkin yang dimaksud kita harus bersentuhan dengan dunia 3D

>>>yang buruk:
- sex di luar nikah itu sangat beresiko
- ketika pasangan hamil, berarti kita memberikan beban besar padanya, dan orang disekitarnya.
- adegan pemerkosaan, buruk! penghinaan terbesar atas kemanusiaan. pelecehan paling keji.

tapi ya sebagian besar yang saya liat dalam H adalah teknik gambarnya. ahahaha saya kebanyakan bicara tentang H... gomen...

Shinrue Ainsofroi said...

@Edo,
Nice comments. Mengenai filterisasi dan bahwa rape is crime, tidak ada yang bisa saya katakan lagi...saya sangat setuju dengan Anda.

Alasan saya sederhana saja. Ibu saya adalah wanita, dan saya juga punya adik perempuan...Saya juga tidak mau orang-orang yang saya cintai dilecehkan, maka saya juga tidak senang dengan pelecehan berbentuk pemerkosaan atau penyiksaan fisik pada wanita.

Bagaimana pun juga, meski wanita itu masih boleh dipatahkan hatinya (secara konotatif ya), namun bukanlah letak mereka untuk kita sakiti secara fisik. Tempat wanita adalah sebagai partner yang harus kita jaga dan lindungi. Well, it's one of our tasks as a male, IMHO.

dre said...

menambahkan, aku rasa akar kejahatan-kejahatan ini adalah sikap dan pemikiran primitif.

orang beradab tidak melakukan kejahatan seperti ini dan cenderung dapat menahan diri.

dari titik ini saya berpikir bahwa pelajaran yang selama ini dianggap banyak orang sebagai pelajaran yang tidak penting, seperti etika, agama, dan kewarganegaraan, menjadi satu subjek yang penting dalam meningkatkan mutu dari kehidupan manusia yang beradab

Shinrue Ainsofroi said...

@Dre:
Congratz untuk berganti nama kembali, Bung, hahaha...

Saya rasa cukup benar, bahwa ketidakacuhan seseorang terhadap beberapa nilai yang baik dan benar dapat menjerumuskan dirinya ke arah jurang primitif-isme (adakah jargon in? XD)

 
Back to Home
Download High Quality eBooks for FREE! Follow Shinrue via Twitter RSS Feed of shinrue.com Facebook Page of shinrue.com Facebook group of J-Topia Privacy Policy for www.shinrue.com Yahoo Online Status Indicator